- Media dan periklanan: Media dan industri periklanan sering kali memperkuat dan mempromosikan stereotip femininitas yang sempit. Perempuan digambarkan dalam iklan, film, dan program TV sebagai objek seksual atau dalam peran-peran yang pasif, yang dapat menghambat upaya untuk membebaskan perempuan dari norma-norma toksik.
- Pendidikan dan sosialisasi: Sosialisasi awal dalam keluarga dan di sekolah juga dapat memainkan peran penting dalam menginternalisasi norma-norma toksik. Perempuan sering diajarkan untuk menekan emosi negatif mereka, seperti kemarahan, dan untuk memenuhi ekspektasi konvensional tentang bagaimana seorang perempuan "seharusnya" berperilaku.
Baca Juga: 6 Cara Menghadapi Teman Kerja Toxic, Nggak Perlu Buru-buru Resign
- Peran agama dan institusi keagamaan: Agama dan institusi keagamaan juga dapat memainkan peran dalam memperkuat toksinitas feminin. Beberapa agama mengajarkan peran gender yang tradisional dan membatasi perempuan dalam peran-peran tertentu yang dianggap sesuai dengan norma agama mereka.
- Ketidaksetaraan gender dan struktur kekuasaan: Ketidaksetaraan gender yang masih ada dalam masyarakat juga berkontribusi pada toksinitas feminin. Ketika perempuan tidak memiliki akses yang sama dengan pria terhadap pendidikan, pekerjaan, atau kekuasaan, norma-norma toksik dapat terus bertahan sebagai alat pemeliharaan struktur kekuasaan yang ada.
Dampak toxic femininity
Dampak dari toxic femininity adalah merugikan perempuan dalam banyak cara.
Hal ini menciptakan tekanan internal dan eksternal yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, merampas kebebasan mereka untuk menjadi individu yang mandiri, dan membatasi pilihan hidup mereka.
Toksin femininity juga dapat menciptakan ketidaksetaraan gender dan merusak hubungan interpersonal. (*)